Tubuh itu semakin membungkuk, keriput, namun tetap tegar menghadapi
hidup. Tata Mandong, begitu kakek ini disebut, sudah 30 tahun
mengabdikan dirinya demi menjaga keseimbangan alam Gunung Bawakaraeng,
Sulawesi Selatan.
Tata Mandong bukanlah sosok pahlawan yang
dikenal banyak orang. Di sela mulutnya terselip lintingan tembakau. Asap
terhembus, pelan, nikmat, ditelan udara. Rambutnya memutih termakan
usia, namun senyumnya selalu tersungging tatkala memberikan petuah
bijak.
Tak ada yang tahu kapan ia dilahirkan, tak pernah pula dia
memberi jawaban saat ditanya. Umurnya, ditaksir dari kondisi fisik,
sekitar 60 tahun. Kami memanggilnya Tata Mandong, pahlawan dari Tanah
Bawakaraeng.
Persis di kaki Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan, lembah indah terbentang. Hijau, bagai permadani yang
terhampar. Lembah itu bernama Lembah Ramma. Butuh waktu minimal 4 jam
untuk mencapai lembah ini dari desa terakhir, melewati perbukitan dan
beberapa sungai.
Menuju Lembah Ramma hanya dapat dilalui dengan
berjalan kaki dengan jalur yang sempit dan banyaknya pohon tumbang. Ya,
di tengah sini, di lembah indah ini, Tata Mandong tinggal sendirian di
rumahnya yang sederhana. Rumah itu berukuran 3x4 meter persegi. Tak ada
listrik, apalagi televisi.
Rumah panggung yang terbuat dari
beberapa potongan kayu dengan lantai setinggi 1 meter tersebut hanya
terdiri dari dua ruangan. Dapur yang menyatu dengan ruang tamu, dan
sebuah kamar tidur. Dasar rumahya digunakan sebagai tempat berteduh
untuk ketiga anjingnya. Teman setia yang menemani dirinya ketika sepi
dan menjaga dirinya dari babi hutan.
Hanya sebuah radio usang
satu-satunya barang 'termewah' yang ia punya. Itu pun pemberian dari
salah seorang mahasiswa yang berkunjung ke rumahnya. Seorang pria
seusianya seharusnya istirahat dengan tenang di rumah sambil menikmati
koran atau bercanda dengan cucu tercinta. Tata Mandong hanya bermukim
sendirian di tengah hutan, tanpa fasilitas mewah satu pun. Menurut saya,
hanya manusia luar biasa yang mampu melaluinya.
Sudah sekitar 30
tahun Tata Mandong mengabdikan dirinya demi menjaga keseimbangan alam
Gunung Bawakaraeng. Setiap hari ia menanam bibit pohon yang sebelumnya
telah disemai di halaman rumahnya. Bibit-bibit tersebut diharapkan dapat
menjadi penahan banjir kelak nantinya.
Ia cerita tentang kasus
longsor pada tanggal 26 Maret 2004 di sekitar Gunung Bawakaraeng yang
menyebabkan 32 warga kampong Lengkese, Desa Manihoi, Kecamatan Tinggi
Moncong, tewas. Puluhan rumah, ternak dan sekolah pun tertimbun endapan
longsor.
Saat itu warga baru saja menyelesaikan ibadah salat
Jum̢۪at. Ada yang kembali beraktivitas bertani di sawah, atau membawa
ternak ke padang rumput. Ada pula yang langsung istirahat di rumah. Tak
ada yang menyangka, sebab tak ada tanda-tanda bahwa akan adanya longsor.
Semua berlangsung begitu cepat. Warga tak mampu menyiapkan diri.
Tata
Mandong tak mampu berbuat banyak saat itu. Ia terlambat memberitahu
warga tentang bencana ini. Ia hanya manusia biasa yang memiliki tenaga
rata-rata dan harus berpacu melawan endapan longsor sepanjang 30
kilometer dengan ketebalan mencapai 400-500 meter tersebut.
Sebelumnya,
ia mendengar suara gemuruh di atas lereng dan menduga itu adalah salah
satu lereng yang akan longsor. Dugaan beliau tepat, tak lama kemudian
terjadilah bencana longsor tersebut. Tata Mandong sangat sedih dengan
bencana ini.
Dedikasi Tata Mandong sungguh luar biasa dan
benar-benar total. Setiap pagi ia akan menggapai puncak Tallung untuk
mengamati kondisi gunung sambil mengawasi aktivitas ternak-ternak warga
yang beliau gembalakan. Sebab, ia bisa mengamati semuanya dari puncak
Tallung. Ia tak punya teropong untuk melihat detail-detail kondisinya.
Hanya dengan mata telanjang dan pengalamanlah ia menafsirkan semuanya.
Tata
Mandong adalah orang yang akan dimintai nasehat oleh warga tentang
kondisi Gunung Bawakaraeng untuk melanjutkan aktivitas bertani dan
beternak. Tak jarang pula ia menjadi tim penyelamat ketika ada pendaki
yang hilang dan tersesat.
Yang paling membuat saya gusar, Tata
Mandong hanya dibayar Rp 150.000 per bulan oleh Dinas Kehutanan untuk
membayar bentuk dedikasinya tersebut. Sungguh ironis memang. Untuk
kehidupan sehari-harinya beliau mengandalkan ikan empang yang
dipelihara. Atau sedikit sumbangan dari rekan-rekan pendaki yang
rata-rata setiap akhir pekan mengunjungi rumahnya. Dan kalau terpaksa,
Tata Mandong akan berjalan kaki menuju pasar Malino.
Tata Mandong
hanya pria biasa. Pria normal yang membutuhkan wanita sebagai istri
yang menopang dirinya dan anak-anak yang menceriakan hari-harinya. Tahun
1986, Maniah, istri yang dicintainya, meninggalkan dirinya karena tak
tahan dengan kondisi miskin yang menimpa keluarganya. Gaji sebagai
penanam bibit sebesar Rp 150.000 menurutnya tak mampu menopang
perekonomian keluarga.
Maniah membawa serta anak semata wayang
mereka, Fatimah. Hal inilah yang masih menjadi ganjalan di hati Tata
Mandong. Beliau menyimpan kerinduan yang mendalam kepada keluarga yang
dia cintai. Beliau ingin melihat wajah cantik putrinya yang kini telah
tumbuh menjadi gadis dewasa. Sekali lagi, sebuah keadaan yang sangat
luar biasa dan hanya mampu dilalui oleh manusia yang luar biasa pula.
Tata
Mandong, meski tak setenar Mbah Maridjan, adalah pahlawan lingkungan
yang patut diapresiasi. Bertemu dengannya di kaki Gunung Bawakaraeng,
Anda akan mengerti arti kehidupan dan kepedulian terhadap lingkungan.
Friday, March 1, 2013
0 Response to "Tata Mandong, 'Mbah Maridjan' dari Gunung Bawakaraeng"
Post a Comment